LATAR BELAKANG
Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, dan selama ini, udang menjadi andalan ekspor non-migas Indonesia. Namun, sejak serangan virus white spot, produksi udang tambak menurun drastis. Kontaminasi antibiotik pada udang Indonesia yang memberikan dampak penolakan ekspor ini mungkin ada kaitannya dengan serangan virus tersebut. Supaya hal ini tidak terjadi lagi maka semua komponen yang terlibat dalam perudangan Indonesia harus benar-benar berbenah diri.
Sambil melakukan pembenahan dan perbaikan pada perudangan Indonesia, kepiting dapat dijadikan sebagai komoditas alternatif untuk meraup devisa. Ini mengingat, potensi kepiting di Indonesia yang sangat memungkinkan dan permintaan luar negeri yang tinggi. Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 5.8 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah Indonesia. Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada.
Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak udang baru 300.000 Ha. (Dahuri, 2005). Sisanya masih tidur. Artinya, peluang membangunkan potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar. Dan salah satu daerah yang mempunyai potensi tersebut adalah Kalimantan.
Ada dua jenis kepiting yang memiliki nilai komersil, yakni kepiting bakau dan rajungan. Di dunia, kepiting bakau sendiri terdiri atas 4 spesies dan keempatnya ditemukan di Indonesia, yakni: kepiting bakau merah (Scylla olivacea) atau di dunia internasional dikenal dengan nama “red/orange mud crab”, kepiting bakau hijau (S.serrata) yang dikenal sebagai “giant mud crab” karena ukurannya yang dapat mencapai 2-3 kg per ekor, S. tranquebarica (Kepiting bakau ungu) juga dapat mencapai ukuran besar dan S. paramamosain (kepiting bakau putih). Di Indonesia, spesies rajungan yang terkenal dan memiliki nilai ekspor adalah Portunus pelagicus, juga dikenal sebagai Swimming Crab.
Kepiting bakau adalah komoditas ekspor yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim.
Padahal, negara yang menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Sebuah perusahaan di Tarakan yang menjadi pengumpul sekaligus eksportir kepiting mengaku hanya sanggup mengirim 20 ton kepiting per bulan ke Korea, padahal permintaan mencapai 80 ton per bulan.
Kepiting banyak diminati dikarenakan daging kepiting tidak saja lezat tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan. Meskipun mengandung kholesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh, merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik.
Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Untuk kepiting lunak/soka, selain tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit semuanya dapat dimakan.
Kepiting tersebut diekspor dalam bentuk segar/hidup, beku, maupun dalam kaleng. Di luar negeri, kepiting merupakan menu restoran yang cukup bergengsi. Dan pada musim-musim tertentu harga kepiting melonjak karena permintaan yang juga meningkat terutama pada perayaan-perayaan penting seperti imlek dan lain-lain. Pada saat-saat tersebut harga kepiting hidup di tingkat pedagang pengumpul dapat mencapai Rp.100.000,- per kg yang pada hari biasa hanya Rp.40.000,- untuk grade CB (betina besar berisi/bertelur, ukuran > 200 g/ekor) dan Rp.30.000,- untuk LB (jantan besar berisi, ukuran > 500g- 1000g/ekor).
Kepiting lunak/soka harganya dua kali lipat lebih tinggi. Di luar negeri, harga kepiting bakau grade CB dapat mencapai 8.40 U$ – 9.70 U$ per kg sedangkan LB dihargai 6.10 U$ – 9.00 U$ per kg. Ukuran >1000g (Super crab) harganya 10.5 U$ per kg.
Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat ditukar dengan dollar. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti bakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang murah dan aman.
Sayang, prospek bisnis yang sangat menjanjikan ini belum mendapat perhatian yang cukup dari pengusaha. Padahal mulai dari pembenihan hingga budidayanya menjanjikan keuntungan yang besar. Banyak faktor yang menyebabkan investasi dan usaha di bidang kelautan pada umumnya sangat rendah. Tapi yang paling utama adalah kebijakan pembangunan ekonomi yang belum memihak ke bidang ini serta belum dipahaminya potensi dan peluang usaha (bisnis) di bidang ini oleh kalangan pengusaha, pemerintah, dan stakeholders lainnya.
Sebagai contoh, hingga saat ini terbatasnya alat tangkap yang dimiliki menyebabkan nelayan pencari kepiting bakau DI Kalimantan sulit berkembang. Belum adanya sinergi antara pemerintah, kalangan pengusaha dan stakeholders lainnya inilah salah satu penyebabnya. Akses pasar yang terbatas membuat hasil tangkapan nelayan yang sedikit itu dihargai rendah.
Padahal, potensi pasar kepiting bakau di pasar domestik dan luar negeri cukup menjanjikan. Sebagian besar nelayan di Kalimantan hanya mengandalkan perahu dayung untuk mencari kepiting bakau. Mereka tidak punya modal untuk membeli perahu bermesin. Selain tidak memiliki perahu bermesin, para nelayan juga kesulitan membeli bubu khusus untuk menangkap kepiting bakau. Mereka mengaku tidak mampu membuat sendiri bubu khusus untuk menangkap kepiting dan terpaksa membeli pada perajin.
Kemudian harga kepiting yang rendah dinilai menyebabkan tingkat kesejahteraan nelayan Kalimantan belum juga membaik. Terlebih untuk modal pengembangan usahanya. Hasil tangkapan nelayan itu juga sangat kecil, belum mampu memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat setiap tahunnya. Untuk pasar domestik kepiting bakau tahun 2004 saja membutuhkan pasokan 20.903 ton. Apalagi tahun-tahun belakangan ini.
Selain itu, apabila ingin menjadikan kepiting sebagai komoditas andalan maka penangkapan dari alam saja tidaklah cukup. Bahkan penangkapan yang berlebihan dapat mengancam kelestarian hewan ini. Karena itu, budidaya adalah pilihan yang tepat.
SIFAT-SIFAT 
- terhadap sifat-sifat biologis      kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap      lingkungan budidaya mem-berikan pertumbuhan yang maksimal. Seperti      organisme perairan lainnya, pertumbuhan kepiting bakau hanya dapat terjadi      apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi dikurangi      dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian,      partumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya      semakin meningkat atau energi yang dimetabolisme tetap atau semakin      menurun. Adanya perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran      energi yang dikonsumsi, dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi      yang dimetabolisme, sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan      atau penurunan energi tubuh. 
 - 2 Metabolisme merupakan segala      proses reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh organisme yang meliputi      anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen merupakan salah satu      parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir laju metabolisme      secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang digunakan dalam      proses oksidasi. Dalam proses ini mendapat, mengubah dan memakai senyawa      kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Wirahadikusumah,      1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi oleh dua faktor yaitu      faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang berpengaruh      adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status      makanan dan karbondioksida. Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot,      aktivitas, jenis kelamin, reproduksi, dan molting (Kumlu et al. 2001;      Verslycke dan Janssen 2002; Villareal at al. 2003). Salinitas merupakan      masking factor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah      fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak      terhadap organisme (Gilles dan Pequeux, 1983; Ferraris et al., 1986). Hal      ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat      berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan      kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi      untuk metabolisme dapat diminimalisir. Pengetahuan masyarakat tentang      pengaruh salinitas terhadap proses metabolisme kepiting bakau (Scylla sp)      di perairan akuatik yang berada pada substrat baik keras maupun yang      lunak, masih sangat terbatas yaitu berupa petunjuk-petunjuk teknis terkait      peningkatan kepiting bakau (Scylla sp) dalam 
 - 3 ekosistemnya, hal ini      disebabkan karena masih kurangnya instansi atau lembaga yang melakukan      penelitian ini, khususnya di Kawasan Hutan Mangrove yang terdapat di Desa      Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Sehubungan dengan hal      tersebut di atas guna mendapatkan gambaran tentang laju metabolisme      kepiting bakau (Scylla sp) yang ada pada berbagai salinitas maka dilakukan      penelitian dengan formulasi judul: ”Pengaruh Salinitas Terhadap Laju      Metabolisme Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Kawasan Perairan Akuatik Hutan      Mangrove Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ”. 1.2      Identifikasi Masalah Berdasarkan uaraian di atas maka penulis merumuskan      masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah pengaruh salinitas      terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla      sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan      bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. 1.3 Tujuan      Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu: Untuk      mengetahui pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen      kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di      perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang      Kabupaten Gorontalo Utara. 
 - 4 1.2 Manfaat Penelitian      Setelah penelitian ini dilakukan, maka dapat memberikan manfaat sebagai      berikut: 1. Sebagai salah satu bahan informasi bagi usaha pengembangan      kepiting bakau terutama aspek budidayanya. 2. Dapat memberikan imformasi      ilmiah bagi petani kepiting (Scylla sp) dan instansi terkait tentang      pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen      kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di      perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang      Kabupaten Gorontalo Utara. 3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah      Biokimia tentang metabolisme yaitu konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla      sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin. 4. Sebagai bahan masukan untuk      mata kuliah Fiswan tentang konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp)      pada kondisi basal, makan, dan rutin. 5. Sebagai sumber informasi lanjutan      bagi mahasiswa Jurusan Biologi untuk melakukan penelitian. BAB II KAJIAN      PUSTAKA 
 - 5 2.1 Deskripsi Tentang      Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah      pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena      merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di      laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang      disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu      cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan      anaerob. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar      yang diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera (Panthera tigris      sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo (Mycteria cinerea),      bubut hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilus      javanicus, dan tempat persinggahan bagi burung-burung migran. 2.1.3      Jenis-Jenis Mangrove Banyak jenis mangrove yang sudah dikenal dunia,      tercatat jumlah mangrove yang telah dikenali sebanyak sampai dengan 24      famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies, tentunya tergantung kepada      pakar mangrove yang mana pertanyaan kita tujukan (Tomlinson dan Field,      1986 dalam Irwanto, 2006). Irwanto (2006), menyatakan bahwa ”Asia      merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya.      Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis,      dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya      memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki      sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak      menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis”. Dari sekian banyak jenis mangrove      di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah      jenis api-api (Avicennia sp.), bakau 
 - 6 (Rhizophora sp.), tancang      (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan      tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove      tersebut adalah kelompok mangrove yang berfungsi menangkap, menahan      endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api atau di dunia      dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam      proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah,      toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan      (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan      baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora spp.)      merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi      dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2006).      Gambar Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove (Bengen,2002)      Menurut Zeinyta Azra Haroen dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Hutan      Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas      Mangrove membentuk pencampuran antra dua kelompok : 
 - 7 1. Kelompok fauna daratan      /terestial (arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove.      2. Kelompok fauna perairan /akuatik terdiri atas dua tipe yaitu:  Yang hidup di kolom air terutama      jenis-jenis ikan danØ udang.  Yang      menempati substrat baik keras ( akar dan batang pohonØ mangrove ) maupun yang lunak yaitu kepiting dan      kerang. 2.2 Deskripsi Tentang Kepiting Manusia tak sadar, kepiting begitu      berjasa bagi kehidupannya. Mungkin karena penelitian mengenai kepiting      masih sedikit dilakukan, informasi mengenai keberadaannya seolah “hilang”.      Di Indonesia, kepiting hanya dikenal sebagai bahan makanan semata. Padahal      apabila dicermati lebih jauh lagi, kepiting tak hanya enak dikonsumsi. Banyak      manfaat lain yang bisa diambil. Kepiting bisa dinikmati secara visual      (sebagai kepiting hias), digunakan sebagai bioindikator logam berat dan      penangkal racun. Bahkan kepiting bisa juga dipelihara sebagai hewan      peliharaan yang lucu. Lebih jauh lagi, apabila dilihat dari sisi ekologi,      jumlahnya yang dominan di daerah mangrove mampu mengatur keseimbangan      ekosistem di daerah tersebut. 2.2.1 Fungsi Ekologis Kepiting menjaga      keseimbangan ekosistem dan memainkan peranan penting di daerah mangrove.      Daun yang dimangsa kepiting dan dikeluarkan dalam bentuk faeces terbukti      lebih cepat terurai dibandingkan dengan daun yang tidak dimangsa. Hal ini      menyebabkan proses perputaran energi berjalan cepat di mangrove. Selain      itu, keberadaan lubang-lubang kepiting, secara tidak langsung mampu      mengurangi 
 - 8 kadar racun tanah mangrove      yang terkenal anoksik. Lubang-lubang ini membantu terjadinya proses      pertukaran udara di tanah mangrove. 2.2.2 Keanekaragaman Jenis Kepiting      Bakau Scylla sp. Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan-satu-satunya spesies      dari famili Portunidea yang memiliki assosiasi yang dekat dengan      lingkungan mangrove/hutan bakau, sehingga dikenal dengan nama kepiting      bakau atau mud crab. Telah dilakukan penelitian tentang keaneka ragaman      jenis kepiting bakau dikawasan mangrove sungai Lakatong, dengan tujuan      untuk mengetahui keanekaragaman jenis kepiting bakau dan memperoleh data      deskriptor dari populasi-populasi kepiting bakau dikawasan sungai Lakatong      Kab.Takalar. Pengambilan sampel kepiting dilakukan di tiga titik sampling      sepanjang kawasan mangrove Sungai Lakatong, dengan menggunakan alat      tangkap rakkang.Titik.titik sampling dianggap mewakili daerah ruaya      kepiting bakau sehingga ukuran sampel kepiting terwakili. 2.2.3 Komposisi      Spesies Kepiting Di Hutan Mangrove Berbagai jenis krustasea yang hidup di      mangrove menggali tanah sampai water table, permukaan air. Kepiting      Thalassina sp. yang merupakan indikator adanya tanah sulfat masam menggali      lubang hampir horisontal dengan percabangan pada sisi-sisinya, sedangkan      Upogebia sp. membentuk lubang seperti huruf “U”. Kepiting Sesarma sp.      menggali lubang yang lebih sederhana dengan ruangan yang luas di dasarnya.      Selanjutnya kepiting jenis Portunidae seperti Scylla serrata dapat      menggali lubang hingga 5 m ke luar dari sisi tebing sungai masuk ke      mangrove. Fungsi lubang bagi kepiting bervariasi, bergantung pada      spesiesnya, yaitu sebagai tempat menghindar dari predator, tempat      menampung air, sumber bahan pakan 
 - 9 organik seperti pada      Thalassina sp., sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan      kawin, tempat pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya.      Campuran dari deposit organik dengan flora, bakteria, diatom, dan      mikroorganisme lainnya yang terdapat di dasar mangrove merupakan sumber      makanan bagi berbagai jenis kepiting. Kepiting Uca sp. betina mengambil      lumpur dengan kedua kaki capitnya yang kecil sehingga lebih cepat      mengambil makanan dibandingkan dengan Uca sp. jantan yang hanya mempunyai      satu kaki capit yang kecil, sedangkan kaki capit satu lagi ukurannya besar      sehingga sulit untuk mengambil makanan. 2.3 Keterkaitan Komunitas Dalam      Perlindungan Ekosistem Mangrove Burbridge and Maragos 1985 mengatakan      bahwa ekosistem pesisir terkait satu sama lain karena adanya aliran energi      dan mineral. Meskipun hutan mangrove ditemukan disepanjang garis pantai      Queensland, penelitian-penelitian mengenai komunitas ikan yang masuk ke      habitat-habitat ini pada saat pasang masih sedikit (Stephenson and      Dredge1976 ; Morton 1990 ; Robertson and Duke1990 dalam Halliday1996). Hal      ini mengindikasikan bahwa kerugian habitat belum diperhitungkan dalam      produktivitas perikanan. Tekanan-tekanan untuk membangun atau gangguan      terhadap habitat kawasan pesisir. Dari tahun 1974 sampai tahun 1987, 8.4 %      dari hutan mangrove dan 10.5% dari kawasan saitmarsh-claypan antara antara      daerah Coolangatta dan caloundra di bagian selatan timur Queensland telah      hilang sebagai hasil dari pembangunan pelabuhan,kanal,resor,galangan kapal      dan perluasan dari bandara Brisbane. 
 - 10 Dokumentasi dari penggunaan      habitat oleh dan kemampuan untuk menyedia pendugaan yang akurat sebagai      dampak dari pembangunan kawasan pesisir adalah kritis jika kawasan-kawasan      yang memiliki nilai perikanan yang tinggi akan dilestarikan (Halliday      1996) Secara ekologis ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai      daerah pemijahan (spawning ground),daerah asuhan (nursery ground) dan      tempat mencari makan (feeding ground). Sebagian besar jenis biota laut      (ikan ,udang ,kepiting) yang bernilai ekonomi penting. Menurut Snedaker      1978, bahwa sekitar 80% dari jenis –jenis ikan laut daerah tropika      menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur      hidupnya,didaerah pesisir berhutan mangrove. Dengan demikian, ekosistem      mangrove berfungsi sebagai sumber plasma nuftah dan biodiversity. Selain      itu hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daerah pesisir dari      gempuran ombak (abrasi),gelombang tsunami,dan angin taufan. Ekosistem      mangrove juga berperan besar dalam pemeliharaan kualitas perairan pesisir      melalui :  Penjebakan sedimen yang      terdapat di kolom air.Ø  Pengeluaran      nutrien dalam keadaan seimbang (steady-stateØ equilibrium). Ruslan 1986 menyimpulkan dari hasil      penelitian yang dilakukan di pantai timur Daerah Istimewa Aceh bahwa lebar      jalur hijau mempunyai hubungan yang nyata (sinifikan) dengan produksi      udang dari tambak tradisional dan populasi udang dari hasil tangkapan      nelayan disekitarnya. Perubahan pemanfaatan lahan pesisir yang merusak      hutan mangrove misalnya untuk tambak dapat mengakibatkan hilangnya      komponen ssumberdaya 
 - 11 hayati lain yang terkandung      didalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya.      Komponen sumberdaya tersebut memiliki nilai ekonomi, sehingga perubahan      hutan mangrove menjadi tambak mengakibatkan hilang nilai ekonomi dan      komponen hayati yang terkandung di dalamnya dan nilai ekonomi sumberdaya      perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Adanya hubungan antara hutan,      mangrove dengan seluruh produktivitas ekosistem berarti argumen ekonomi      yang kuat dapat dibuat untuk larangan penebangan habis hutan mangrove.      Beberapa pembatasan tebang habis hutan mangrove akan optimal secara      ekonomi bila terjadi hubungan ekologis yang kuat. 2.4 Ketergantungan      Sumberdaya Pesisir Terhadap Mangrove Banyak penelitian menunjukkan bahwa      mangrove memainkan peran yang penting bagi beberapa spesies ikan yang ada      ,di pesisir. Kasus terbanyak adalah udang, dimana udang dewasa yang berada      di laut dan larva menuju ke pesisir dengan aktif berenang dan secara pasif      dibawa oleh arus pasang surut. Sebagai fungsi tempat pembesaran, ekosistem      mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor: tingkat tropik sumberdaya,      kekeruhan air,dan keanekaragaman yang terstruktur.  Pertama konsentrasi bahan organik yang      sangat tinggi pada ekosistemØ estuary termasuk mangrove disebabkan karena adanya      aliran air tawar,sebagai penjebak zat hara,pencampuran air yang disebabkan      oleh adanya pasang surut dan terjadinya modulasi lingkungan (Knox 1986)      Semua faktor diatas menghasilkan produktivitas yang tinggi di ekosistem      ini. Dan hal ini merupakan dasar dari jaring makanan pada ekosistem 
 - 12 mangrove dimana jenis-jenis      larva udang,plankton dan juvenil ikan tersedia melimpah dan beraneka      ragam.  Kedua,kekeruhan yang terjadi      di suatu perairan dapat mengakibatkanØ menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator      yang ada di wilayah tersebut dan memperluas daerah pembesaran ikan,dan      akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup dari ikan-ikan muda yang banyak      terdapat pada ekosistem tersebut.       Ketiga, struktur keanekaragaman dan tersedianya habitat yang sesuaiØ dengan ekosistem mangrove dalam penyediaan ruang yang      lebih luas dan adanya niche yang bertingkat merupakan hal yang penting dan      mengakibatkan banyaknya ikan-ikan muda yang tersedia di ekosistem ini      Penelitian di teluk Mexico menunjukkan bahwa sumberdaya ikan sangat      tergantung pada ekosistem mangrove. Hubungan keterkaitan antara ekosistem      mangrove dan lingkungannya dengan perikanan komersil juga diteliti di      Australia oleh Blaber pada tahun 1997 juga menyimpulkan hal yang sama      yakni banyak spesies adalah oportunis dan tidak bergantung pada estuary.      Meskipun kondisi lingkungan mangrove sangat disukai untuk ikan-ikan yang      dipanen sekitar pantai,ketergantungan ekologi dari ikan-ikan pesisir      terhadap mangrove masih sedikit yang dikuantifikasikan. Dari semua hal      tersebut hutan mangrove di Indonesia termasuk jenis yang terbaik di dunia      .Oleh karena itu banyak permintaan terhadap hutan mangrove semakin      meningkat, tidak saja dari segi produk, tetapi juga lahan yang sendiri.      Permintaan terhadap lahan hutan mangrove lebih berpotensi merusak karena      pada 
 - 13 akhirnya akan merusak      lingkungan pada lokasi tersebut dan berdampak luas pada lingkungan      sekitarnya. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai      kepentingan tersebut maka diperlukan konsiderasi komunitas dalam perlindungan      dan pengelolaan serta rehabilitasi ekosistem mangrove secara optimal dan      berkelanjutan. Untuk dapat melakukan pengelolaan secara lestari diperlukan      pengetahuan tentang nilai strategis karena keberadaan hutan mangrove bagi      masyarakat sekitarnya dan pengambilan kebijakan terkait. Konservasi      ekosistem dan sumberdaya di dalamnya dapat dicap
 
TEHNOLGI PRODUKSI KEPITING BAKAU
 Kepiting bakau termasuk satu diantara komoditas perikanan bernilai ekonomis penting di wilayah Indo-Pasifik. Produksi kepiting bakau Indonesia selama ini masih sangat mengandalkan hasil penangkapan di alam dan hanya sebagian kecil dihasilkan dari kegiatan budidaya, seperti yang sudah berkembang di beberapa daerah di antaranya Bone, Sulawesi Selatan. 
Berdasarkan peluang usaha tersebut mengakibatkan intensitas penangkapan kepiting di alam terus meningkat baik yang beaikuran konsumsi maupun ukuran kecil sebagai benih dalam kegiatan budidaya, sehingga di beberapa daerah dilaporkan telah terjadi tangkap lebih yang bcrdampak merusak populasinya di alam. Untuk mengimbangi laju penangkapan tersebut perlu adanya upaya ke arah pembenihan terkendali.
Sejak beberapa tahun terakhir ini Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol-Bali telah berhasil memproduksi benih kepiting bakau dari spesies Scylla paramamosain. Disamping itu, telah dilakukan kerjasama penelitian dengan Bribie Island Aquaculture Research Center (BIARC) Australia yang dibiayai oleh ACIAR Project No. FIS/1999/076.
Kepiting bakau dapat digolongkan ke dalam 4 spesies, masing-masing Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea yang semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Namun di BBRPBL – Gondol induk yang digunakan adalah dari spesies S. paramamosain, sedangkan di Australia adalah spesies S. serrata.
Kategori induk yang digunakan dalam pembenihan adalah jenis kepiting betina dewasa debar kerapas > 12 cm), dalam kondisi sehat yang dicirikan dengan warna cerah, anggota tubuh lengkap serta respon yang cepat apabila kaki renangnya ditarik.
PENGELOLAAN INDUK 
Sebelum transportasi dianjurkan untuk melakukan perendaman kepiting dalam air garam yang bersih (kadar garam 25-34 ppt) selama 3-5 menit untuk menghindari dehidrasi selama transportasi. Pada saat transportasi sebaiknya kepiting disimpan dalam kondisi suhu rendah. Induk yang telah ditransportasi direndam dalam larutan formalin 200 ppm selama 15-20 menit untuk mencegah adanya kontaminasi dari luar.
Bak pemeliharaan induk dapat berupa bak beton ataupun fiberglass dengan menggunakan substrat pasir putih setebal 5 cm dan sistem air mengalir. Ketinggian air dalam tangki berkisar 40-50 cm. Padat tebar induk dalam bak berkisar 1 ekor per m2. Pemberian pakan berupa daging kerang laut dan ikan rucah dengan perbandingan 1:1 dengan dosis 15% bobot tubuh pada induk dengan tingkat kematangan gonad (TKG) I dan menurun sampai 5% pada TKG IV atau menjelang pemijahan.Pemijahan (inkubasi)
Pemijahan induk kepiting bakau biasanya berlangsung 1 – 2 minggu setelah dipelihara dalam bak. Waktu pemijahan selalu berlangsung pada malam hari. Induk yang mengandung telur sebaiknya direndam dalam larutan formalin dosis 50 ppm selama 1 jam untuk menghilangkan parasit dan jamur yang mcnempel pada massa telur. Lama inkubasi antara 8-10 hari pada kondisi suhu 29-30°C. Selama masa inkubasi induk kepiting tidak diberi makan hal ini untuk menjaga kebersihan lingkungan. Waktu penetasan telur selalu berlangsung pada pagi hari.
Bentuk dan ukuran tangki
Bentuk tangki yang ideal adalah bulat kerucut dengan kemiringan dasar tangki ± 10°. Ukuran yang disarankan dengan volume 1.000-5.000 liter.
PEMELIHARAAN LARVA
Pengelolaan air laut
Air laut sebelum digunakan terlebih dahulu harus disterilisasi dengan klorin 10 ppm selama 24 jam, selanjutnya ditambahkan Na-thiosulfal dengan dosis 5 ppm unluk menetralkan klorin yang masih tersisa di dalam air laut.
Penanganan larva
Sebelum dilakukan penebaran larva, sebaiknya suhu air disesuaikan dengan yang ada pada bak penetasan. Goncangan suhu diusahakan hanya bcrkisar 1 °C. Padat tebar larva berkisar 50-100 ekor/ L. Tingkatan stadia kepiting bakau terdiri dari: zoea-1 sampai dengan zoea-5 : 12-14 hari; megalopa: 7-10 hari dan selanjutnya menjadi krablet (kepiting muda).
Pemeliharaan megalopa – krablet
Setelah mencapai stadia megalopa dilakukan panen dan pemindahan ke dalam bak pendederan. Hal ini untuk mengurangi kanibalisme, karena megalopa sudah dapat berenang cepat dan sudah dilengkapi sepasang capit untuk menangkap mangsanya. Pendederan biasanya berlangsung selama 2 minggu hingga mencapai stadia krablet-2 sampai krablet-4. Pendederan dengan kepadatan 250 -1.000 ekor/rm dan menggunakan shelter berupa karang dan waring, dapat menghasilkan sintasan sebesar 70-80% krablet-2 sampai krablet-4 yang selanjutnya sudah siap ditebar di tambak.