Senin, 22 Maret 2010

avertebrata

LATAR BELAKANG

Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, dan selama ini, udang menjadi andalan ekspor non-migas Indonesia. Namun, sejak serangan virus white spot, produksi udang tambak menurun drastis. Kontaminasi antibiotik pada udang Indonesia yang memberikan dampak penolakan ekspor ini mungkin ada kaitannya dengan serangan virus tersebut. Supaya hal ini tidak terjadi lagi maka semua komponen yang terlibat dalam perudangan Indonesia harus benar-benar berbenah diri.

Sambil melakukan pembenahan dan perbaikan pada perudangan Indonesia, kepiting dapat dijadikan sebagai komoditas alternatif untuk meraup devisa. Ini mengingat, potensi kepiting di Indonesia yang sangat memungkinkan dan permintaan luar negeri yang tinggi. Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 5.8 juta kilometer persegi atau 75% dari total wilayah Indonesia. Wilayah laut tersebut ditaburi lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada.

Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak ± 1.2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak udang baru 300.000 Ha. (Dahuri, 2005). Sisanya masih tidur. Artinya, peluang membangunkan potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar. Dan salah satu daerah yang mempunyai potensi tersebut adalah Kalimantan.

Ada dua jenis kepiting yang memiliki nilai komersil, yakni kepiting bakau dan rajungan. Di dunia, kepiting bakau sendiri terdiri atas 4 spesies dan keempatnya ditemukan di Indonesia, yakni: kepiting bakau merah (Scylla olivacea) atau di dunia internasional dikenal dengan nama “red/orange mud crab”, kepiting bakau hijau (S.serrata) yang dikenal sebagai “giant mud crab” karena ukurannya yang dapat mencapai 2-3 kg per ekor, S. tranquebarica (Kepiting bakau ungu) juga dapat mencapai ukuran besar dan S. paramamosain (kepiting bakau putih). Di Indonesia, spesies rajungan yang terkenal dan memiliki nilai ekspor adalah Portunus pelagicus, juga dikenal sebagai Swimming Crab.

Kepiting bakau adalah komoditas ekspor yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data yang tersedia di Departemen Kelautan dan Perikanan, permintaan kepiting dan rajungan dari pengusaha restoran sea food Amerika Serikat saja mencapai 450 ton setiap bulan. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi karena keterbatasan hasil tangkapan di alam dan produksi budidaya yang masih sangat minim.

Padahal, negara yang menjadi tujuan ekspor kepiting bukan hanya Amerika tetapi juga Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Sebuah perusahaan di Tarakan yang menjadi pengumpul sekaligus eksportir kepiting mengaku hanya sanggup mengirim 20 ton kepiting per bulan ke Korea, padahal permintaan mencapai 80 ton per bulan.

Kepiting banyak diminati dikarenakan daging kepiting tidak saja lezat tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan. Meskipun mengandung kholesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh, merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium yang baik, dan merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium yang sangat baik.

Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Untuk kepiting lunak/soka, selain tidak repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisihkan, nilai nutrisinya juga lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit semuanya dapat dimakan.

Kepiting tersebut diekspor dalam bentuk segar/hidup, beku, maupun dalam kaleng. Di luar negeri, kepiting merupakan menu restoran yang cukup bergengsi. Dan pada musim-musim tertentu harga kepiting melonjak karena permintaan yang juga meningkat terutama pada perayaan-perayaan penting seperti imlek dan lain-lain. Pada saat-saat tersebut harga kepiting hidup di tingkat pedagang pengumpul dapat mencapai Rp.100.000,- per kg yang pada hari biasa hanya Rp.40.000,- untuk grade CB (betina besar berisi/bertelur, ukuran > 200 g/ekor) dan Rp.30.000,- untuk LB (jantan besar berisi, ukuran > 500g- 1000g/ekor).

Kepiting lunak/soka harganya dua kali lipat lebih tinggi. Di luar negeri, harga kepiting bakau grade CB dapat mencapai 8.40 U$ – 9.70 U$ per kg sedangkan LB dihargai 6.10 U$ – 9.00 U$ per kg. Ukuran >1000g (Super crab) harganya 10.5 U$ per kg.

Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat ditukar dengan dollar. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai anti virus dan anti bakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang murah dan aman.

Sayang, prospek bisnis yang sangat menjanjikan ini belum mendapat perhatian yang cukup dari pengusaha. Padahal mulai dari pembenihan hingga budidayanya menjanjikan keuntungan yang besar. Banyak faktor yang menyebabkan investasi dan usaha di bidang kelautan pada umumnya sangat rendah. Tapi yang paling utama adalah kebijakan pembangunan ekonomi yang belum memihak ke bidang ini serta belum dipahaminya potensi dan peluang usaha (bisnis) di bidang ini oleh kalangan pengusaha, pemerintah, dan stakeholders lainnya.

Sebagai contoh, hingga saat ini terbatasnya alat tangkap yang dimiliki menyebabkan nelayan pencari kepiting bakau DI Kalimantan sulit berkembang. Belum adanya sinergi antara pemerintah, kalangan pengusaha dan stakeholders lainnya inilah salah satu penyebabnya. Akses pasar yang terbatas membuat hasil tangkapan nelayan yang sedikit itu dihargai rendah.

Padahal, potensi pasar kepiting bakau di pasar domestik dan luar negeri cukup menjanjikan. Sebagian besar nelayan di Kalimantan hanya mengandalkan perahu dayung untuk mencari kepiting bakau. Mereka tidak punya modal untuk membeli perahu bermesin. Selain tidak memiliki perahu bermesin, para nelayan juga kesulitan membeli bubu khusus untuk menangkap kepiting bakau. Mereka mengaku tidak mampu membuat sendiri bubu khusus untuk menangkap kepiting dan terpaksa membeli pada perajin.

Kemudian harga kepiting yang rendah dinilai menyebabkan tingkat kesejahteraan nelayan Kalimantan belum juga membaik. Terlebih untuk modal pengembangan usahanya. Hasil tangkapan nelayan itu juga sangat kecil, belum mampu memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat setiap tahunnya. Untuk pasar domestik kepiting bakau tahun 2004 saja membutuhkan pasokan 20.903 ton. Apalagi tahun-tahun belakangan ini.

Selain itu, apabila ingin menjadikan kepiting sebagai komoditas andalan maka penangkapan dari alam saja tidaklah cukup. Bahkan penangkapan yang berlebihan dapat mengancam kelestarian hewan ini. Karena itu, budidaya adalah pilihan yang tepat.


SIFAT-SIFAT

  1. terhadap sifat-sifat biologis kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya mem-berikan pertumbuhan yang maksimal. Seperti organisme perairan lainnya, pertumbuhan kepiting bakau hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian, partumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya semakin meningkat atau energi yang dimetabolisme tetap atau semakin menurun. Adanya perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran energi yang dikonsumsi, dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi yang dimetabolisme, sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan energi tubuh.
  2. 2 Metabolisme merupakan segala proses reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh organisme yang meliputi anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen merupakan salah satu parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir laju metabolisme secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi. Dalam proses ini mendapat, mengubah dan memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Wirahadikusumah, 1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status makanan dan karbondioksida. Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot, aktivitas, jenis kelamin, reproduksi, dan molting (Kumlu et al. 2001; Verslycke dan Janssen 2002; Villareal at al. 2003). Salinitas merupakan masking factor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme (Gilles dan Pequeux, 1983; Ferraris et al., 1986). Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk metabolisme dapat diminimalisir. Pengetahuan masyarakat tentang pengaruh salinitas terhadap proses metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) di perairan akuatik yang berada pada substrat baik keras maupun yang lunak, masih sangat terbatas yaitu berupa petunjuk-petunjuk teknis terkait peningkatan kepiting bakau (Scylla sp) dalam
  3. 3 ekosistemnya, hal ini disebabkan karena masih kurangnya instansi atau lembaga yang melakukan penelitian ini, khususnya di Kawasan Hutan Mangrove yang terdapat di Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Sehubungan dengan hal tersebut di atas guna mendapatkan gambaran tentang laju metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) yang ada pada berbagai salinitas maka dilakukan penelitian dengan formulasi judul: ”Pengaruh Salinitas Terhadap Laju Metabolisme Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Kawasan Perairan Akuatik Hutan Mangrove Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ”. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uaraian di atas maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu: Untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
  4. 4 1.2 Manfaat Penelitian Setelah penelitian ini dilakukan, maka dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu bahan informasi bagi usaha pengembangan kepiting bakau terutama aspek budidayanya. 2. Dapat memberikan imformasi ilmiah bagi petani kepiting (Scylla sp) dan instansi terkait tentang pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. 3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Biokimia tentang metabolisme yaitu konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin. 4. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Fiswan tentang konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin. 5. Sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi untuk melakukan penelitian. BAB II KAJIAN PUSTAKA
  5. 5 2.1 Deskripsi Tentang Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo (Mycteria cinerea), bubut hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilus javanicus, dan tempat persinggahan bagi burung-burung migran. 2.1.3 Jenis-Jenis Mangrove Banyak jenis mangrove yang sudah dikenal dunia, tercatat jumlah mangrove yang telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita tujukan (Tomlinson dan Field, 1986 dalam Irwanto, 2006). Irwanto (2006), menyatakan bahwa ”Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis”. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau
  6. 6 (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang berfungsi menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api atau di dunia dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora spp.) merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2006). Gambar Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove (Bengen,2002) Menurut Zeinyta Azra Haroen dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Hutan Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas Mangrove membentuk pencampuran antra dua kelompok :
  7. 7 1. Kelompok fauna daratan /terestial (arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove. 2. Kelompok fauna perairan /akuatik terdiri atas dua tipe yaitu: Yang hidup di kolom air terutama jenis-jenis ikan danØ udang. Yang menempati substrat baik keras ( akar dan batang pohonØ mangrove ) maupun yang lunak yaitu kepiting dan kerang. 2.2 Deskripsi Tentang Kepiting Manusia tak sadar, kepiting begitu berjasa bagi kehidupannya. Mungkin karena penelitian mengenai kepiting masih sedikit dilakukan, informasi mengenai keberadaannya seolah “hilang”. Di Indonesia, kepiting hanya dikenal sebagai bahan makanan semata. Padahal apabila dicermati lebih jauh lagi, kepiting tak hanya enak dikonsumsi. Banyak manfaat lain yang bisa diambil. Kepiting bisa dinikmati secara visual (sebagai kepiting hias), digunakan sebagai bioindikator logam berat dan penangkal racun. Bahkan kepiting bisa juga dipelihara sebagai hewan peliharaan yang lucu. Lebih jauh lagi, apabila dilihat dari sisi ekologi, jumlahnya yang dominan di daerah mangrove mampu mengatur keseimbangan ekosistem di daerah tersebut. 2.2.1 Fungsi Ekologis Kepiting menjaga keseimbangan ekosistem dan memainkan peranan penting di daerah mangrove. Daun yang dimangsa kepiting dan dikeluarkan dalam bentuk faeces terbukti lebih cepat terurai dibandingkan dengan daun yang tidak dimangsa. Hal ini menyebabkan proses perputaran energi berjalan cepat di mangrove. Selain itu, keberadaan lubang-lubang kepiting, secara tidak langsung mampu mengurangi
  8. 8 kadar racun tanah mangrove yang terkenal anoksik. Lubang-lubang ini membantu terjadinya proses pertukaran udara di tanah mangrove. 2.2.2 Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp. Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan-satu-satunya spesies dari famili Portunidea yang memiliki assosiasi yang dekat dengan lingkungan mangrove/hutan bakau, sehingga dikenal dengan nama kepiting bakau atau mud crab. Telah dilakukan penelitian tentang keaneka ragaman jenis kepiting bakau dikawasan mangrove sungai Lakatong, dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis kepiting bakau dan memperoleh data deskriptor dari populasi-populasi kepiting bakau dikawasan sungai Lakatong Kab.Takalar. Pengambilan sampel kepiting dilakukan di tiga titik sampling sepanjang kawasan mangrove Sungai Lakatong, dengan menggunakan alat tangkap rakkang.Titik.titik sampling dianggap mewakili daerah ruaya kepiting bakau sehingga ukuran sampel kepiting terwakili. 2.2.3 Komposisi Spesies Kepiting Di Hutan Mangrove Berbagai jenis krustasea yang hidup di mangrove menggali tanah sampai water table, permukaan air. Kepiting Thalassina sp. yang merupakan indikator adanya tanah sulfat masam menggali lubang hampir horisontal dengan percabangan pada sisi-sisinya, sedangkan Upogebia sp. membentuk lubang seperti huruf “U”. Kepiting Sesarma sp. menggali lubang yang lebih sederhana dengan ruangan yang luas di dasarnya. Selanjutnya kepiting jenis Portunidae seperti Scylla serrata dapat menggali lubang hingga 5 m ke luar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Fungsi lubang bagi kepiting bervariasi, bergantung pada spesiesnya, yaitu sebagai tempat menghindar dari predator, tempat menampung air, sumber bahan pakan
  9. 9 organik seperti pada Thalassina sp., sebagai rumah atau daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat pertahanan, dan tempat mengerami telur atau anaknya. Campuran dari deposit organik dengan flora, bakteria, diatom, dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di dasar mangrove merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis kepiting. Kepiting Uca sp. betina mengambil lumpur dengan kedua kaki capitnya yang kecil sehingga lebih cepat mengambil makanan dibandingkan dengan Uca sp. jantan yang hanya mempunyai satu kaki capit yang kecil, sedangkan kaki capit satu lagi ukurannya besar sehingga sulit untuk mengambil makanan. 2.3 Keterkaitan Komunitas Dalam Perlindungan Ekosistem Mangrove Burbridge and Maragos 1985 mengatakan bahwa ekosistem pesisir terkait satu sama lain karena adanya aliran energi dan mineral. Meskipun hutan mangrove ditemukan disepanjang garis pantai Queensland, penelitian-penelitian mengenai komunitas ikan yang masuk ke habitat-habitat ini pada saat pasang masih sedikit (Stephenson and Dredge1976 ; Morton 1990 ; Robertson and Duke1990 dalam Halliday1996). Hal ini mengindikasikan bahwa kerugian habitat belum diperhitungkan dalam produktivitas perikanan. Tekanan-tekanan untuk membangun atau gangguan terhadap habitat kawasan pesisir. Dari tahun 1974 sampai tahun 1987, 8.4 % dari hutan mangrove dan 10.5% dari kawasan saitmarsh-claypan antara antara daerah Coolangatta dan caloundra di bagian selatan timur Queensland telah hilang sebagai hasil dari pembangunan pelabuhan,kanal,resor,galangan kapal dan perluasan dari bandara Brisbane.
  10. 10 Dokumentasi dari penggunaan habitat oleh dan kemampuan untuk menyedia pendugaan yang akurat sebagai dampak dari pembangunan kawasan pesisir adalah kritis jika kawasan-kawasan yang memiliki nilai perikanan yang tinggi akan dilestarikan (Halliday 1996) Secara ekologis ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai daerah pemijahan (spawning ground),daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground). Sebagian besar jenis biota laut (ikan ,udang ,kepiting) yang bernilai ekonomi penting. Menurut Snedaker 1978, bahwa sekitar 80% dari jenis –jenis ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya,didaerah pesisir berhutan mangrove. Dengan demikian, ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber plasma nuftah dan biodiversity. Selain itu hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daerah pesisir dari gempuran ombak (abrasi),gelombang tsunami,dan angin taufan. Ekosistem mangrove juga berperan besar dalam pemeliharaan kualitas perairan pesisir melalui : Penjebakan sedimen yang terdapat di kolom air.Ø Pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (steady-stateØ equilibrium). Ruslan 1986 menyimpulkan dari hasil penelitian yang dilakukan di pantai timur Daerah Istimewa Aceh bahwa lebar jalur hijau mempunyai hubungan yang nyata (sinifikan) dengan produksi udang dari tambak tradisional dan populasi udang dari hasil tangkapan nelayan disekitarnya. Perubahan pemanfaatan lahan pesisir yang merusak hutan mangrove misalnya untuk tambak dapat mengakibatkan hilangnya komponen ssumberdaya
  11. 11 hayati lain yang terkandung didalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Komponen sumberdaya tersebut memiliki nilai ekonomi, sehingga perubahan hutan mangrove menjadi tambak mengakibatkan hilang nilai ekonomi dan komponen hayati yang terkandung di dalamnya dan nilai ekonomi sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Adanya hubungan antara hutan, mangrove dengan seluruh produktivitas ekosistem berarti argumen ekonomi yang kuat dapat dibuat untuk larangan penebangan habis hutan mangrove. Beberapa pembatasan tebang habis hutan mangrove akan optimal secara ekonomi bila terjadi hubungan ekologis yang kuat. 2.4 Ketergantungan Sumberdaya Pesisir Terhadap Mangrove Banyak penelitian menunjukkan bahwa mangrove memainkan peran yang penting bagi beberapa spesies ikan yang ada ,di pesisir. Kasus terbanyak adalah udang, dimana udang dewasa yang berada di laut dan larva menuju ke pesisir dengan aktif berenang dan secara pasif dibawa oleh arus pasang surut. Sebagai fungsi tempat pembesaran, ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor: tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan air,dan keanekaragaman yang terstruktur. Pertama konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi pada ekosistemØ estuary termasuk mangrove disebabkan karena adanya aliran air tawar,sebagai penjebak zat hara,pencampuran air yang disebabkan oleh adanya pasang surut dan terjadinya modulasi lingkungan (Knox 1986) Semua faktor diatas menghasilkan produktivitas yang tinggi di ekosistem ini. Dan hal ini merupakan dasar dari jaring makanan pada ekosistem
  12. 12 mangrove dimana jenis-jenis larva udang,plankton dan juvenil ikan tersedia melimpah dan beraneka ragam. Kedua,kekeruhan yang terjadi di suatu perairan dapat mengakibatkanØ menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah tersebut dan memperluas daerah pembesaran ikan,dan akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup dari ikan-ikan muda yang banyak terdapat pada ekosistem tersebut. Ketiga, struktur keanekaragaman dan tersedianya habitat yang sesuaiØ dengan ekosistem mangrove dalam penyediaan ruang yang lebih luas dan adanya niche yang bertingkat merupakan hal yang penting dan mengakibatkan banyaknya ikan-ikan muda yang tersedia di ekosistem ini Penelitian di teluk Mexico menunjukkan bahwa sumberdaya ikan sangat tergantung pada ekosistem mangrove. Hubungan keterkaitan antara ekosistem mangrove dan lingkungannya dengan perikanan komersil juga diteliti di Australia oleh Blaber pada tahun 1997 juga menyimpulkan hal yang sama yakni banyak spesies adalah oportunis dan tidak bergantung pada estuary. Meskipun kondisi lingkungan mangrove sangat disukai untuk ikan-ikan yang dipanen sekitar pantai,ketergantungan ekologi dari ikan-ikan pesisir terhadap mangrove masih sedikit yang dikuantifikasikan. Dari semua hal tersebut hutan mangrove di Indonesia termasuk jenis yang terbaik di dunia .Oleh karena itu banyak permintaan terhadap hutan mangrove semakin meningkat, tidak saja dari segi produk, tetapi juga lahan yang sendiri. Permintaan terhadap lahan hutan mangrove lebih berpotensi merusak karena pada
  13. 13 akhirnya akan merusak lingkungan pada lokasi tersebut dan berdampak luas pada lingkungan sekitarnya. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka diperlukan konsiderasi komunitas dalam perlindungan dan pengelolaan serta rehabilitasi ekosistem mangrove secara optimal dan berkelanjutan. Untuk dapat melakukan pengelolaan secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai strategis karena keberadaan hutan mangrove bagi masyarakat sekitarnya dan pengambilan kebijakan terkait. Konservasi ekosistem dan sumberdaya di dalamnya dapat dicap


TEHNOLGI PRODUKSI KEPITING BAKAU

Kepiting bakau termasuk satu diantara komoditas perikanan bernilai ekonomis penting di wilayah Indo-Pasifik. Produksi kepiting bakau Indonesia selama ini masih sangat mengandalkan hasil penangkapan di alam dan hanya sebagian kecil dihasilkan dari kegiatan budidaya, seperti yang sudah berkembang di beberapa daerah di antaranya Bone, Sulawesi Selatan.

Berdasarkan peluang usaha tersebut mengakibatkan intensitas penangkapan kepiting di alam terus meningkat baik yang beaikuran konsumsi maupun ukuran kecil sebagai benih dalam kegiatan budidaya, sehingga di beberapa daerah dilaporkan telah terjadi tangkap lebih yang bcrdampak merusak populasinya di alam. Untuk mengimbangi laju penangkapan tersebut perlu adanya upaya ke arah pembenihan terkendali.

Sejak beberapa tahun terakhir ini Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol-Bali telah berhasil memproduksi benih kepiting bakau dari spesies Scylla paramamosain. Disamping itu, telah dilakukan kerjasama penelitian dengan Bribie Island Aquaculture Research Center (BIARC) Australia yang dibiayai oleh ACIAR Project No. FIS/1999/076.

Kepiting bakau dapat digolongkan ke dalam 4 spesies, masing-masing Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea yang semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Namun di BBRPBL – Gondol induk yang digunakan adalah dari spesies S. paramamosain, sedangkan di Australia adalah spesies S. serrata.

Kategori induk yang digunakan dalam pembenihan adalah jenis kepiting betina dewasa debar kerapas > 12 cm), dalam kondisi sehat yang dicirikan dengan warna cerah, anggota tubuh lengkap serta respon yang cepat apabila kaki renangnya ditarik.

PENGELOLAAN INDUK


Sebelum transportasi dianjurkan untuk melakukan perendaman kepiting dalam air garam yang bersih (kadar garam 25-34 ppt) selama 3-5 menit untuk menghindari dehidrasi selama transportasi. Pada saat transportasi sebaiknya kepiting disimpan dalam kondisi suhu rendah. Induk yang telah ditransportasi direndam dalam larutan formalin 200 ppm selama 15-20 menit untuk mencegah adanya kontaminasi dari luar.

Bak pemeliharaan induk dapat berupa bak beton ataupun fiberglass dengan menggunakan substrat pasir putih setebal 5 cm dan sistem air mengalir. Ketinggian air dalam tangki berkisar 40-50 cm. Padat tebar induk dalam bak berkisar 1 ekor per m2. Pemberian pakan berupa daging kerang laut dan ikan rucah dengan perbandingan 1:1 dengan dosis 15% bobot tubuh pada induk dengan tingkat kematangan gonad (TKG) I dan menurun sampai 5% pada TKG IV atau menjelang pemijahan.Pemijahan (inkubasi)
Pemijahan induk kepiting bakau biasanya berlangsung 1 – 2 minggu setelah dipelihara dalam bak. Waktu pemijahan selalu berlangsung pada malam hari. Induk yang mengandung telur sebaiknya direndam dalam larutan formalin dosis 50 ppm selama 1 jam untuk menghilangkan parasit dan jamur yang mcnempel pada massa telur. Lama inkubasi antara 8-10 hari pada kondisi suhu 29-30°C. Selama masa inkubasi induk kepiting tidak diberi makan hal ini untuk menjaga kebersihan lingkungan. Waktu penetasan telur selalu berlangsung pada pagi hari.

Bentuk dan ukuran tangki


Bentuk tangki yang ideal adalah bulat kerucut dengan kemiringan dasar tangki ± 10°. Ukuran yang disarankan dengan volume 1.000-5.000 liter.

PEMELIHARAAN LARVA

Pengelolaan air laut


Air laut sebelum digunakan terlebih dahulu harus disterilisasi dengan klorin 10 ppm selama 24 jam, selanjutnya ditambahkan Na-thiosulfal dengan dosis 5 ppm unluk menetralkan klorin yang masih tersisa di dalam air laut.

Penanganan larva


Sebelum dilakukan penebaran larva, sebaiknya suhu air disesuaikan dengan yang ada pada bak penetasan. Goncangan suhu diusahakan hanya bcrkisar 1 °C. Padat tebar larva berkisar 50-100 ekor/ L. Tingkatan stadia kepiting bakau terdiri dari: zoea-1 sampai dengan zoea-5 : 12-14 hari; megalopa: 7-10 hari dan selanjutnya menjadi krablet (kepiting muda).

Pemeliharaan megalopa – krablet


Setelah mencapai stadia megalopa dilakukan panen dan pemindahan ke dalam bak pendederan. Hal ini untuk mengurangi kanibalisme, karena megalopa sudah dapat berenang cepat dan sudah dilengkapi sepasang capit untuk menangkap mangsanya. Pendederan biasanya berlangsung selama 2 minggu hingga mencapai stadia krablet-2 sampai krablet-4. Pendederan dengan kepadatan 250 -1.000 ekor/rm dan menggunakan shelter berupa karang dan waring, dapat menghasilkan sintasan sebesar 70-80% krablet-2 sampai krablet-4 yang selanjutnya sudah siap ditebar di tambak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar